Pembenahan Sistem Pendidikan Indonesia Belum Optimal

Ini adalah masalah yang telah mengendap selama berpuluh-puluh tahun. Selama itu kita tidak mengalami kemajuan yang cukup berarti. Bukan berarti tulisan saya ini merendahkan kerja keras guru, tetapi semata-mata hanyalah sebagai rasa keprihatinan saya sebagai anak bangsa atas kemunduran dan carut marut di dunia pendidikan.

Akar Permasalahan

Memang saya bukan orang yang ahli banget mencari akar. Paling tidak yang saya ingin utarakan adalah masalah-masalah yang pernah saya alami selama masa pendidikan dan selama saya memperhatikan dunia pendidikan.

Begini...
Anak saya sekolah di sekolah negeri atau milik pemerintah dengan notabene guru-guru sebagian besar adalah pegawai negeri (masih ada guru yang berstatus honorer, pen). Mungkin anak anda atau anak saudara anda, atau saudara-saudara anda juga bersekolah di sekolah negeri. Suatu perubahan besar pada saat pemerintah menggelontorkan kebijakan sekolah gratis untuk sekolah negeri mulai dari sekolah dasar hingga sekolah lanjutan tingkat pertama yang untuk kemudian disebut pendidikan dasar. Ini adalah kemajuan besar bagi bangsa. Tidak hanya sekolah saja yang gratis, buku-buku sekolah juga disediakan oleh pemerintah. Yang lebih hebat lagi, sudah gratis, diberi buku-buku masih diberi uang untuk dana operasional sekolah yang biasa disebut dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah). Hebat, bukan? Tapi anehnya... masyarakat kok belum sepenuhnya merasakan kemajuan yang berarti di bidang pendidikan, ya..?

Mari coba kita lacak permasalahannya.

Kebijakan-kebijakan yang hebat itu tidak didukung dengan sistem inspeksi dan supervisi yang baik. Penggunaan dana BOS seringkali terdapat laporan penyelewengan penggunaannya. Komite Sekolah di banyak sekolah tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Banyak lembaga-lembaga sekolah negeri yang enggan untuk bekerjasama dengan orang tua murid. Saya tidak tahu alasannya. Sebagian besar malah menyalahkan orang tuua yang tidak pro aktif, Sebagiannya lagi justru menggunakan sistem tertutup. Para orang tua bahkan sulit untuk mengetahui perkembangan anaknya di sekolah tersebut.

Memang lembaga semacam Komite Sekolah tidak bisa selalu diandalkan untuk melakukan pengawasan terhadap kinerja sekolah. Sudah seharusnya dinas pendidikan pusat dan daerah menentukan suatu sistem baku yang bisa memantau kinerja lembaga-lembaga sekolah di daerahnya baik secara administratif maupun kualitas.

Lembaga sekolah dan dinas pendidikan juga seharusnya membuka pintu selebar-lebarnya untuk menerima masukan dan kritik yang membangun. Memberikan penghargaan atas tercapainya prestasi-prestasi dan sangsi tegas atas dilanggarnya aturan-aturan yang berlaku tidak hanya bagi siswa-siswa didik, tetapi juga bagi para guru dan pendidik.

Sebagai contoh, ketika seorang murid terlambat masuk sekolah, maka guru akan memberikan sangsi atau hukuman kepada murid yang bersangkutan. Akan tetapi sangat berbeda pada saat ada guru yang terlambat, lembaga sekolah tidak menerapkan sangsi terhadap guru yang terlambat tersebut. Artinya anda tidak bisa mengajarkan disiplin, tanpa anda melakukan kedisiplinan yang sama dengan orang-orang yang anda ajarkan kedisiplinan itu. Anda harus ingatt kata pepatah : guru kencing berdiri murid kencing berlari. Jika anda melanggar aturan-aturan, siswa-siswa anda juga akan lebih-lebih lagi.


Bangunan Sekolah Yang Layak.

Masih banyak bangunan-bangunan sekolah di daerah-daerah yang tidak layak dipergunakan sebagai tempat belajar mengajar. Bangunan-bangunan yang rapuh, atap-atap bocor, halaman becek atau sekolah yang terlalu jauh. Anak-anak dan guru merasa tidak nyaman untuk melakukan aktivitas. Akan sangat sulit melakukan transfer ilmu pada saat keadaan tidak nyaman.

Kualitas guru perlu ditingkatkan.

Masih banyak guru-guru negeri yang dalam keadaan "stag" terhadap pengembangan diri. Mereka merasa tidak perlu dan tidak mau meningkatkan kualitas untuk mengembangkan diri. Tidak semua guru memang, tetapi banyak guru yang merasa sudah mendapatkan gaji bulanan, menjadi pegawai negeri, lalu mengajar dengan seadanya saja.

Sangat memprihatinkan mengetahui anak-anak Indonesia tidak mendapatkan haknya secara layak. Beberapa contoh akan coba saya beberkan di sini.

Anak-anak SMP Morotai belum bisa membaca. Baca di sini.

Beberapa murid SMA di Kabupaten Maybrat, Provinsi Papua Barat belum bisa membaca dan membuat gurunya shock. Baca di sini.

Guru malas mengajar di Asmat mengakibatkan murid-muridnya terlantar. Baca di sini

Setiap tahun soal UN diisukan bocor. Baca di sini.

Anggaran pendidikan tahun 2013.

Untuk tahun 2013 pemerintah Indonesia mengalokasikan dana untuk pendidikan sebesar 331,8 triliyun rupiah. Ini berarti naik 6,7 persen dibanding anggaran tahun 2012 sebesar 310,8 triliyun rupiah. Anggaran yang sebesar itu akan sangat berarti bagi dunia pendidikan Indonesia. Akan tetapi ada hal yang harus menjadi penekanan bagi pemerintah. Tanpa supervisi yang handal, inspeksi yang ketat, dikhawatirkan anggaran besar itu hanya akan menjadi hal yang sia-sia dan hanya menguntungkan segelintir orang saja karena korupsi. Mulai sekarang, pemerintah harus benar-benar melakukan pengawasan, baik pada lembaga sekolah dan yang lebih penting lagi instansi-instansi terkait dengan penggelontoran dana pendidikan tersebut. Menurut ICW, korupsi di instansi pendidikan menduduki tingkat ketiga setalah korupsi di lembaga pemerintahan dan BUMN/BUMD.

Jangan sampai anak Indonesia menjadi bodoh karena orang tua yang korup.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan menuliskan komentar dengan bahasa yang baik dan sopan. Komentar yang menyinggung masalah SARA akan dihapus.